Siapa yang tidak kenal ojek online? 2025 rasanya wajar kalau saya sebut ojek online adalah salah satu pilar pendukung kehidupan kita. Terutama untuk yang tinggal di kota besar seperti Jakarta. Meskipun tentu banyak pro dan kontra diantaranya, saya pribadi tidak bisa berhenti bersyukur atas kehadiran ojek online dalam hidup kita semua. Selain alasan praktis yang membuat saya bisa mendapatkan obat demam untuk anak saya tengah malam tanpa harus keluar rumah, ada banyak sekali cerita yang bisa didapatkan dari para ojol jaket hijau ini (atau kuning atau orange).
Salah satu cerita singkat yang saya dapatkan semalam yang membuat otak saya berpikir sedikit lebih berbeda dari biasanya. Kemarin jam 10 malam saya baru tiba di stasiun sepulang kantor. Kala itu hujan masih turun meskipun tidak deras, hanya rintik manis. Ojek online pada umumnya sangat sulit didapatkan ketika hujan. Saya jujur punya pemikiran jelek bahwa semua orang ini rupanya malas sekali bekerja, sampai rintik hujan air yang bukan batu saja bisa menghentikan mereka. Bukan satu dua tiga kali saya mendapat pengalaman cancel atau sulit mendapat ojol di hari hujan. Padahal saya sendiri pun tidak keberatan kehujanan asal bisa pulang sampai di rumah bertemu anak-anak.
Malam itu saya mendapat seorang bapak ojol. Layaknya template yang selalu saya pakai kala hujan, saya kirimkan, “Pak bisa jemput ga? Saya nunggu ga apa-apa.” Dan si bapak menjawab secepat kilat, “Agak jauh sedikit, ditunggu ya kak”. Sejujurnya tidak seberapa lama saya menunggu, si bapak sudah sampai. Kami saling tegur sapa sebelum akhirnya saya kenakan helm dan naik motor si bapak ini. Karena saya sudah capek, saya tidak banyak membahas apa-apa dan cenderung diam. Bapak ojol kemudian membuka pembicaraan, “Ujan gede banget ya teh. Udah dari tadi ini”. “Iya mas, saya tadi di Jakarta juga susah dapet soalnya di cancel mulu karena jauh”.
Saya sampaikan sedikit pendapat saya pada beliau, soal ruwet hati saya setiap hujan yang tak kunjung dapat ojol. Dan sinis hati soal kenapa ojol malas saat hujan. Curhatan saya ditanggapi tawa ringan dan beliau mengiyakan sebagian alasan saya yang rupanya masih ada unsur kebenaran nya. “Kalo kakak jauh, itu karena kakak pelanggan prioritas kak, jadi akan dapat driver yang prioritas juga.”
“Maksudnya gimana pak?”
“Berdasarkan rating kakak, kakak termasuk pelanggan prioritas”.
Serasa nasabah BCA pikir saya. Kemudian beliau menanyakan sesuatu yang saya pikir hampir tidak ada hubungan nya, “Kakak suka cancel orderan kah?” Saya mengernyit sedikit, separuh kesal dan merasa agak tersinggung untuk sejujurnya alasan yang belum jelas, “Ga pernah kecuali diminta pak. Ojol kadang minta cancel kalo orderan nya jauh. Mereka gak mau macet-macetan.”
“Wah kakak jangan mau dong cancel. Kan bukan kakak yang minta.”
“Ya soalnya saya ga bisa pesan yang berikutnya pak, saya kan kepengen pulang”, begitu ujar saya.
Diiringi tawa ringan lagi, beliau menunjukkan ke saya cara “cancel” yang lebih aman. Saya cukup terpukau sesaat, namun pembicaraan berikutnya lah yang membuat saya lumayan berpikir. Bapak ojol mengatakan ke saya bahwa alasan beliau menanyakan soal kebiasaan saya membatalkan pesanan bukan tanpa alasan. Seperti teman-teman semua tahu, selain driver, kita sebagai pengguna pun punya rating. Saya kurang lebih tau rating saya dari driver sebelumnya, 4.3. Tentu saja saya tidak bangga ya. Saya sempat kesal karena saya merasa tidak pernah berbuat aneh-aneh pada ojol. Punya rating di bawah 4.5 adalah hal yang memalukan untuk saya pribadi.
Bapak ojol bilang rating saya 4.4 — wah sudah naik rupanya pikir saya. Dan yang menarik adalah detil yang diberikan oleh bapak ojol, jadi meskipun rating saya 4.4, namun keseluruhan termasuk sangat bagus karena setidaknya saya sudah menjadi customer selama 5 tahun, dan ada kurang lebih 900 driver yang memberikan saya rating bintang 5. Dari situ beliau mengambil kesimpulan tidak mungkin rating saya murni dari saya sebagai pelanggan, dan pelanggan dengan rating jelek (di bawah 4) pun tidak dihitung sebagai prioritas. “Saya juga ga sering kok pak kasi tip”, ujar saya pelan. Agak malu, tapi memang kadang sering kali lupa. Bapak ojol kemudian bilang, “Kakak ramah dan baik. Sopan. Untuk banyak driver itu paling penting kak. Kita juga ga tiba-tiba kasih bintang jelek, driver juga ngga melulu mikirin tip kak”.
Dari situ saya terenyuh, separuh terkejut. Rupanya basa-basi saya — yang betul saya kategorikan sebagai basa-basi — masih mengantarkan saya kepada hal-hal baik. “Halo”, “Maaf”, dan “Terima Kasih” adalah tiga kata penting yang sering kali kita lupakan di era digital ini. Didikan orang tua saya, masih membekas dan dari sini akan saya pastikan saya turunkan ke anak-anak saya.
Malam itu, bukan cuma pujian yang saya dapat karena masih ramah di jam 10.30 malam, tapi juga pesan tersirat bahwa di dunia ini, manusia pada akhirnya masih ada yang mementingkan tutur kata halus dan sopan dari sekedar uang tip. Semoga dengan tulisan saya ini, bisa mengingatkan pembaca di luar sana bahwa menjadi sopan dan baik tentu akan selalu berbuah manis pada akhirnya.
![]()
